“Assalamu’alaikum
cuma mau ngingetin kalau sekarang ini sudah masuk Sya’ban dan malam nisfu
Sya’ban jatuhnya kamis 12 juni 2014 malam Jum’at (tutup buku amalan). Jadi
sebelum terlambat, saya ingin minta maaf kalau ada kesalahan, baik disengaja
maupun tidak, karena Rasulullah SAW bersabda: ‘Barangsiapa yang mengingatkan
kedatangan bulan ini (nisfu Sya’ban), haram api neraka baginya. Aamiin’.
Itulah
hadist popular di bulan Sya’ban ini. Sejak memasuki bulan Sya’ban, pesan
tersebut di atas kita dapatkan, baik via SMS, Jejaring Sosial, maupun BBM.
Banyak umat Islam yang langsung men-forward pesan-pesan seperti itu. Namun
biasanya kita langsung percaya tanpa berkonsultasi dengan beberapa Ustaz untuk
mengecek kebenaran hadist tersebut, termasuk mencari di mesin pencari Mbah
Google. Namun, menurut Komisi Penelitian MUI dan Wakil Sekjen MIUMI, Ustaz
Fahmi Salim, M.A., hadist itu setelah dilacak tidak ada sumbernya yang jelas
“La Ashla Lahu” di dalam kitab-kitab sahih, sunan, dan musnad hadist. Ia hanya
ada ditulis dalam kitab durratu Nasihin karya ulama abad ke-13 H, yang terbiasa
mengutip hadist-hadist yang lemah, bahkan palsu.
Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda: “Barang siapa
mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada,
maka ia tertolak “. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam
riwayat Muslim telah disebutkan: “Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak
kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak”.
Bermaaf-maafan,
terhadap sesama muslim, jelas wajib. Tidak ada larangan untuk
hal itu. Hal
tersebut sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Anas bin Malik ra.: “Janganlah
kalian saling memutuskan hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling
bermusuhan, jangan saling hasud. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan
saudaranya
di atas tiga hari.” (HR Muttafaq ‘alaihi).
Dalam
riwayat lain disebutkan: dari Abi Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak halal bagi seorang muslim memboikot (tidak bertegur) dengan saudaranya
di atas tiga hari, mereka bertemu, sebaik-baik mereka adalah yang memulai
dengan salam.”.(HR Muttafaq ‘alaihi).
Namun, jika
ada satu perkara yang dilebih-lebihkan, seperti perayaan-perayaan yang
dilakukan sepanjang bulan Sya’ban atau SMS/FB/BBM yang sekadar kirim tanpa
dicek dan ricek kebenarannya, tentu kita wajib mencari tahu apakah Rasulullah
melakukan amalan tersebut atau tidak. Jika tidak, sebaiknya tidak dilakukan.
Hadits Ke-5
Dari Ibunda kaum mu’minin, Ummu Abdillah ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha, dia
berkata: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
‘Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu (amalan) didalam urusan (agama) kami yang bukan
dari kami, maka (amalan) itu tertolak.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam
riwayat Muslim: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya
dari kami, maka itu tertolak.”
Malam Nishfu
Sya’ban itu sama seperti malam lain. Dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no.
115, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Malam
Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut
dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu
ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak
katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, jangalah ia bangun pada
malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid
(tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishu Sya’ban (15
Hijriyah).
“Ingat, yang
kami maksudkan adalah jangalah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat
tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”
Dalam
I’tiqod Ahlis Sunnah yang dikeluarkan oleh Abu Utsman Ash Shobuni, Abdullah bin
Al Mubarok rahimahullah pernah ditanya tentang Allah yang turun di malam Nishfu
Sya’ban. Beliau lantas memberi jawaban, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau
maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu, bahwa Allah itu
turun di setiap malam.”
berikut ini
saya kutipkan dari sebuah blog fir a rif
Oleh:
Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Al-Atsary
Silih
bergantinya hari dan bulan adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi setiap
muslim. Betapa tidak, Allah telah melimpahkan berbagai rahmat dan kemurahan-Nya
kepada umat Islam, berupa kebaikan dan amalan sholih yang disyari’atkan pada
hari-hari atau bulan-bulan itu. Dalam sepekan misalnya, ada hari Jum’at yang padanya
terdapat sejumlah keutamaan, ada Senin dan Kamis yang merupakan waktu puasa
sunnah yang telah dimaklumi keutamaannya. Demikian pula di berbagai bulan ada
sejumlah keutamaan padanya, seperti bulan Ramadhan, bulan Dzul Hijjah dan
lain-lainnya. Maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk mengenal dan
mengetahui apa yang dituntunkan agamanya di saat menyongsong bulan-bulan
tersebut agar kehidupannya -insyâ’ Allah- menjadi suatu yang sangat berarti dan
penuh kebahagiaan di dunia yang fana ini dan sangat bermakna untuk akhiratnya
kelak. Namun jangan lupa, bahwa di masa ini sangat banyak terjadi bentuk ritual
ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar tuntunannya dalam syari’at kita,
karena itu haruslah dibedakan antara hal yang dituntunkan dengan hal yang tidak
ada tuntunannya bahkan merupakan perkara baru dalam agama alias bid’ah. Seluruh
hal ini harus diperhatikan agar “maksud memetik nikmat” tidak berubah menjadi
“menuai petaka”1.
Berkenaan
dengan datangnya bulan Sya’ban 1427H, maka berikut ini kami ketengahkan kepada
para pembaca yang budiman, beberapa hadits yang berkaitan dengan bulan Sya’ban.
Diuraikannya hadits-hadits shohih yang berkaitan dengan bulan Sya’ban ini
adalah dalam rangka mengingatkan bahwa hadits-hadits tersebut sepatutnya diamalkan,
adapun dijelaskannya hadits-hadits yang lemah adalah dalam rangka menyampaikan
nasehat untuk kaum muslimin agar menghindarinya. Semoga Allah mencurahkan
taufiq dan ‘inâyah-Nya kepada kita semua.
Beberapa
Hadits Shohih Seputar Sya’ban
Hadits
Pertama
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ
“Adalah
Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa hingga kami
berkata bahwa beliau tidak akan berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata
bahwa beliau tidak akan/pernah berpuasa, maka saya tidak pernah melihat
Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyempurnakan puasa
sebulan selain bulan Ramadhan dan tidaklah saya melihat paling banyaknya beliau
berpuasa di bulan Sya’ban.”
Takhrijul
Hadits
Dikeluarkan
oleh Al-Bukhâry no. 1969, Muslim no. 1156, Abu Dâud no. 2434, An-Nasâ’i 4/151
dan Ibnu Majah no. 1710 dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.
Fiqih Hadits
Hadits di
atas, menunjukkan bahwa Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, sebab hal
tersebut merupakan puasa wajib terhadap kaum muslimin. Adapun puasa sunnah maka
kebanyakan puasa beliau adalah pada bulan Sya’ban.
Hadits Kedua
مَا
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya tidak
pernah melihat Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa dua
bulan berturut-turut kecuali pada Sya’ban dan Ramadhan.”
Takhrijul
Hadits
Hadits di atas,
dikeluarkan oleh Abu Dâud no. 2336, At-Tirmidzy no. 735, An-Nasâ’i 4/151, 200,
Ad-Dârimy 2/29 dan lain-lainnya dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ. Dan
sanadnya shohih.
Fiqih Hadits
Hadits di
atas, lebih mempertegas bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Bukan artinya beliau puasa Sya’ban
sebulan penuh sebagaimana yang kadang dipahami dari konteks hadits di atas,
karena orang yang berpuasa di kebanyakan hari pada suatu bulan, oleh orang
Arab, dikatakan dia telah berpuasa sebulan penuh. Maka tidak ada pertentangan
antara hadits ini dengan hadits-hadits sebelumnya. Demikian keterangan Imam
Ibnul Mubarak rahimahullâh dalam mengkompromikan antara dua hadits di atas.2
Adapun
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh, beliau berpendapat bahwa dua hadits
di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa
sallam pada sebagian tahun beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh dan pada
sebagian lainnya beliau hanya berpuasa pada kebanyakan saja.3
Hadits
Ketiga
Fari Usamah
bin Zaid radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shollallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat
engkau berpuasa dalam suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?”
Maka beliau menjawab,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعُ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
“Itu adalah
bulan antara Rajab dan Ramadhan yang manusia lalai darinya. Dan ia adalah bulan
yang padanya segala amalan akan diangkat kepada Rabbul ‘Alamin. Maka saya
senang amalanku diangkat sementara saya sedang berpuasa.”
Takhrijul
Hadits
Hadits ini
dikeluarkan oleh Ahmad 5/201, Ibnu Abu Syaibah 2/347, An-Nasâ’i 4/201,
Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’âny Al-Atsâr 2/82, Al-Baihaqy dalam Syu’bul Imân
3/377 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/18. Dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/103 dan Tamâmul Minnah hal. 412.
Fiqih Hadits
Berkata Ibnu
Rajab rahimahullâh, “Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam telah
menyebutkan bahwa tatkala (bulan Sya’ban) dihimpit oleh dua bulan yang agung;
bulan Harom (Rajab) dan bulan Puasa (Ramadhan), maka manusia pun sibuk dengan
keduanya sehingga (Sya’ban) terlalaikan. Dan banyak manusia yang menyangka
bahwa puasa Rajab lebuh afdhal dari puasa (Sya’ban) karena ia adalah bulan
haram, dan hakikatnya tidak demikian.”4
Dan dari
hadits di atas, para ulama juga memetik dua hikmah kenapa Nabi shollallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban, yaitu karena
banyak manusia yang lalai darinya dan beliau senang amalan beliau terangkat
sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa.
Dan sebagian
ulama menyebutkan bahwa hikmah dari puasa Sya’ban adalah sebagai latihan guna
menghadapi puasa Ramadhan. Tatkala seseorang telah merasakan manis dan lezatnya
berpuasa di bulan Sya’ban, maka ia akan masuk pada bulan Ramadhan dalam keadaan
penuh semangat dan kesiapan serta telah terbiasa untuk berpuasa.5
Hadits
Keempat
يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ مُشْرِكٌ أَوْ مَشَاحِنٌ
“Allah
melihat kepada makhluk-Nya pada malam nishfu (pertengahan) Sya’ban lalu
mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bertikai.”
Hadits di
atas dikeluarkan oleh sejumlah Imam Ahli Hadist dari hadits Abu Bakr
Ash-Shiddîq, Mu’âdz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyany, ‘Aisyah, Abu
Hurairah, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Abu Musa Al-‘Asy’ary, ‘Auf bin Mâlik,
‘Utsmân bil Abil ‘Ash dan Abu Umâmah Al-Bâhily radhiyallâhu ‘anhum, Dan hadits
di atas dishohîhkan oleh Syaikh Al-Albany dari seluruh jalannya.6
Hadits di
atas adalah satu-satunya hadits shohîh7 yang menunjukkan keutamaan malam nishfu
Sya’ban. Dan hal ini berlaku bagi mereka yang mempunyai kebiasaan beribadah
pada malam hari yang bertepatan dengan malam nishfu Sya’ban. Ini bukanlah
berarti bahwa diizinkan untuk melakukan ibadah-ibadah khusus yang tidak pernah
dilakukan pada hari-hari lainnya sebagaimana kebiasaan sebagian manusia yang
menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara khusus.
Tidak pernah
dinukil dari Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan para
shahabatnya ada yang menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara khusus dengan
melaksanakan shalat lail dengan melebihkan malam-malam lainnya, apalagi
melakukan ritual-ritual khusus yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam
agama kita.8
Hadits-Hadits
Lemah Seputar Sya’ban
Hadits Pertama
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Adalah Nabi
shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bila beliau telah memasuki bulan
Rajab beliau berdoa: ‘Ya Allah, berkahilah untuk kami bulan Rajab dan Sya’ban
dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”
Hadits di
atas dikeluarkan oleh Ahmad 1/259, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 4/no. 3939 dan
dalam Ad-Du’â’ no. 911, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/375 dan Abu Nu’aim
dalam Al-Hilyah 6/269 dari jalan Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd dari Ziyâd An-Numairy
dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd menurut Imam
Al-Bukhâry munkarul hadits, dan Ziyâd An-Numairy juga lemah sebagaimana yang
diterangkan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizânul I’tidâl. Dan hadits di atas
dilemahkan pula oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dho’îful Jami’.
Hadits Kedua
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَرُبَّمَا أَخَرَ ذَلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهَ صَوْمُ السَّنَةِ وَرُبَّمَا أَخَّرَهُ حَتَّى يَصُوْمُ شَعْبَانُ
“Adalah
Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam biasa berpuasa tiga hari
dalam sebulan. Dan kadang beliau mengakhirkan hal tersebut hingga terkumpul
puasa setahun, dan kadang beliau akhirkan hingga beliau berpuasa Sya’ban.”
Hadits di
atas dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 2/no. 2098. Dan dalam
sanadnya ada ‘Abdurrahman Ibnu Abi Lailah dan beliau dha’îful hadîts (lemah
haditsnya). Demikian keterangan Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawâ’id 3/441 dan
Ibnu Hajar dalam Fathul Bâry 4/214.
Hadits
Ketiga
رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِي وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِىْ
“Rajab
adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulannya
umatku.”
Derajat
Hadits
Hadits ini
dikeluarkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/374 dari jalan Nûh bin Abi
Maryam dari Zaid Al-‘Ammy dari Yazid Ar-Raqâsyi dari Anas bin Mâlik
radhiyallâhu ‘anhu. Berkata Al-Baihaqy setelah meriwayatkannya, “Sanad ini
sangatlah mungkar.” Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyîn Al-Ujab telah
menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits palsu dari kedustaan Nuh bin Abi
Maryam.
Dan Syaikh
Al-Albany dalam Adh-Dha’îfah no. 4400 menyebutkan bahwa Al-Ashbahâny dalam
At-Targhîb membawakan riwayat lain dengan sanad yang mursal dari AL-Hasan
Al-Bashry. Dan demikian pula disebutkan oleh Asy-Syaukâny dalam Nailul Authâr
4/331, 621 dikeluarkan oleh Abul Fath Ibnu Abil Fawâris.
Hadits
Keempat
فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ
“Keutamaan
Rajab terhadap bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’ân
terhadap dzikir-dzikir selainnya, dan keutamaan Sya’ban terhadap bulan-bulan
selainnya adalah seperti keutamaan Muhammad terhadap nabi-nabi selainnya, dan
keutamaan Ramadhan terhadap bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan
Allah terhadap segenap hamba-Nya.”
Derajat
Hadits
Hadits di
atas adalah hadits palsu. Demikian keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyîn
Al-Ujab sebagaimana dalam Kasyful Khafa’ karya Al-Ajlûny 2/85 dan Al-Mashnû’ fi
Ma’rifah Al-Hadits Al-Maudhû’ karya ‘Ali Qâri’ hal. 128.
Hadits
Kelima
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ فَقَالَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيْمِ رَمَضَانَ، قِيْلَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فِيْ رَمَضَانَ
Nabi
shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ditanya, ‘Puasa apakah afdhol*
setelah Ramadhan?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban, untuk mengagungkan Ramadhan.’
Kemudian ditanyakan lagi, ‘Shodaqah apakah yang afdhol?’ Beliau menjawab,
‘Shodaqah pada bulan Ramadhan.’”
Derajat
Hadits
Dikeluarkan
oleh At-Tirmidzy no. 663 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân dari Anas bin Malik
radhiyallâhu ‘anhu. Dan dalam sanadnya ada Shodaqah bin Musa dan beliau
dho’îful hadîts. Hadits ini dilemahkan oleh At-Tirmidzy, As-Suyuthy dan
Al-Albany.9 Demikian pula dilemahkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar10 dan beliau
menganggap bahwa hadits di atas menyelisihi hadits Abu Hurairah riwayat Muslim
no. 1163 dengan lafazh,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَّلاَةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik
puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah Al-Muharram, dan sebaik-baik shalat
setelah shalat wajib adalah shalat lail.”
Bulan
Al-Muharram yang diinginkan dalam hadits mungkin bulan Muharram yang merupakan
awal bulan dalam penanggalan Islam dan mungkin juga seluruh bulan harom dalam
Islam yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.11
Hadits
Keenam
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ وَكَانَ أَكْثَرَ فِيْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ مَالِيْ أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِيْ شَعْبَانَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّهُ شَهْرٌ يُنْسَخُ لِمَلَكِ الْمَوْتِ مِنْ يَقْبَضُ فَأُحِبُّ أَنْ لاَ يُنْسَخَ اسْمِيْ إِلاَّ وَأَنَا صَائِمٌ
“Adalah
Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa hingga kami
berkata bahwa beliau tidak (akan/pernah) berbuka, dan beliau berbuka hingga
kami berkata bahwa beliau tidak (akan/pernah) berpuasa, dan kebanyakan puasa
beliau pada bulan Sya’ban. Maka saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kenapa saya
melihat kebanyakan puasamu (adalah) pada bulan Sya’ban?’ Beliau berkata, ‘Wahai
‘Aisyah, ia adalah bulan yang dituliskan untuk malaikat maut siapa yang akan
dicabut nyawanya, maka saya senang namaku ditulis sedang saya dalam keadaan
berpuasa.’”
Derajat
Hadits
Hadits di
atas disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal 1/250-251 dari hadits ‘Aisyah
radhiyallâhu ‘anhâ. Beliau menanyakan kedudukan hadits ini kepada ayahnya, Abu
Hatim -salah seorang pakar Ilalul hadits di masanya-. Maka Abu Hatim
berkomentar bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar.
Hadits
Ketujuh
خَمْسُ لَيَالٍ لاَ تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَةُ: أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَب، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ
“Ada lima
malam yang tidak tertolak padanya doa: awal malam pada bulan Rajab, malam
nishfu Sya’ban, malam Jum’at, mala ‘Iedul Fitri dan malam ‘Iedul Adha.”
Derajat
Hadits
Dikeluarkan
oleh Ibnu ‘Asâkir dan Ad-Dailamy dari hadits Abu Umâmah Al-Bâhily radhiyallâhu
‘anhu. Demikian keterangan Syaikh Al-Albâny dalam Adh-Dha’îfah no. 1452 dan
beliau memvonis hadits di atas sebagai hadits maudhû’ (palsu).
Hadits
Kedelapan
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مَسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهَ أَلاَ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Bila datang
malam nishfu Sya’ban maka lakukanlah Qiyam Lail dan puasa pada siang harinya,
karena ketika matahari terbenam Allah turun pada malam itu ke langit dunia dan
berkata, ‘Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya,
adakah yang memohon rezki, niscaya Aku akan memberikannya, adakah yang tertimpa
penyakit, niscaya Aku akan menyembuhkannya, adakah…, adakah… hingga terbit
fajar.’”
Derajat
Hadits
Dikeluarkan
oleh Ibnu Mâjah no. 1388, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/378, Al-Mizzy dalam
Tahdzîbul Kamâl. Seluruh ulama sepakat akan lemahnya hadits di atas. Namun
Syaikh Al-Albâny dalam Adh-Dha’îfah no. 2132 berpendapat bahwa sanad hadits di
atas adalah palsu, karena Ibnu Abi Sarbah -salah seorang perawinya- telah dicap
oleh Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in sebagai pemalsu hadits.
Hadits
Kesembilan
مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَي الْعِيْدَيْنِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Siapa yang
menghidupkan malam dua ‘Ied dan malam nishfu Sya’ban, niscaya hatinya tidak
akan mati pada hari semua hati menjadi mati.”
Derajat
Hadits
Hadits di
atas dikeluarkan oleh Ibnu Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanâhiyah 2/71-72 dari
shahabat Kurdûs radhiyallâhu ‘anhu. Demikian pula disebutkan oleh Al-Hâfizh
Ibnu Hajar dalam Al-Ishôbah 5/585 dan Ibnu Atsîr dalam Usudul Ghâbah 1/931.
Al-Hâfizh menyatakan bahwa Marwân bin Salîm -salah seorang perawinya- adalah
seorang rawi yang matrûk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bil kadzib
(dituduh berdusta). Dalam Lisânul Mizân pada biografi ‘Isa bin Ibrahim bin
Thahmân -salah seorang perawi hadits di atas- Ibnu Hajar menghukumi hadits di
atas sebagai hadits yang mungkar lagi mursal.
Hadits
Kesepuluh
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِيْئَ رَمَضَانُ
“Apabila
masuk pertengahan dari bulan Sya’ban maka tidak ada lagi puasa hingga datangnya
bulan Ramadhan.”
Derajat
Hadits
Hadits di
atas dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzâq 4/161, Ibnu Abi Syaibah 2/284, Ahmad 2/442,
Ad-Dârimy 2/29, Abu Dâud no. 2337, Ibnu Mâjah no. 1651, Ibnu Hibbân no. 3589,
3591, Ad-Dâruquthny 2/191, Ath-Thâhawy dalam Syarah Ma’âny Al-Atsâr 2/82, Ibnu
Ady dalam Al-Kâmil 5/280, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 7/no. 6863 dan dalam
Musnad Asy-Syamiyyîn no. 1827, Al-Baihaqy 4/209 dan Al-Khathib 8/48.
Terjadi
silang pendapat di kalangan para ulama tentang kedudukan hadits di atas.
Kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Rajab12, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah13, Ibnu Hajar14, dan Al-‘Ainy15 bahwa hadits dishohihkan oleh
At-Tirmidzy, Ath-Thâhawy, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Asakir
dan Ibnu Hazm. Di versi lain, hadits di atas telah dilemahkan oleh sejumlah
ulama yang lebih besar dan lebih berilmu dari mereka dimana mereka berkata
bahwa hadits di atas adalah hadits yang mungkar. Demikian komentar Imam Ahmad,
‘Abdurrahman bin Mahdi, Abu Zur’ah Ar-Razy dan Al-Atsram serta diikuti oleh Abu
Ya’la Al-Khalily16 dan Az-Zarkasyi17 dan lainlainnya. Imam Ahmad berkata bahwa
hadits di atas adalah hadits yang paling mungkar yang diriwayatkan oleh Al-‘Alâ’
bin ‘Abdurrahman.
Dan insya’
Allah pendapat para ulama yang melemahkannya ini yang paling tepat, karena
mereka mereka itulah yang merupakan rujukan dan acuan dalam masalah kedudukan
dan derajat sebuah hadits.
Hadits
Kesebelas
يَا
عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ قَضَى اللهُ لَتهُ كَلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Wahai ‘Ali, siapa yang shalat malam nishfu Sya’ban seratus raka’at dengan (membaca) ‘Qul Huwallâhu Ahad’ seribu (kali) maka Allah akan menunaikan seluruh hajat yang dia minta pada malam itu.”
Derajat
Hadits
Hadits ini
disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78 dan Asy-Syaukâny
dalam Al-Fawâ’id Al-Majmû’ah hal. 50-51 sebagai hadits yang maudhû’ (palsu).
Dan baca pula lafazh yang mirip dengannya dalam Lisânul Mizân karya Al-Hâfizh
Ibnu Hajar pada biografi Muhammad bin Sa’îd Ath-Thabary.
Berkata
Syaikh Ibnu Baz rahimahullâh, “Adapun (hadits-hadits) yang menjelaskan tentang
shalat pada malam (nishfu Sya’ban) seluruhnya adalah maudhû’ (palsu)
sebagaimana yang diingatkan oleh banyak ulama.”18
Dan Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa orang yang melakukan shalat pada malam nishfu
Sya’ban ada tiga tingkatan:
Satu: Orang
yang melakukan kebiasaan shalatnya sebagaimana hari-hari lainnya, tanpa
meyakini adanya keutamaan khusus bagi orang yang melakukan shalat pada malam
nishfu Sya’ban. Yang seperti ini tidak mengapa, karena tidak ada padanya bentuk
bid’ah dalam agama.
Dua: Ia
melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban tidak pada selainnya. Ini adalah
bid’ah dalam agama, karena Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan
para shahabatnya tidak pernah melakukannya dan tidak mencontohkannya.
Tiga: Ia
melakukan shalat dengan jumlah raka’at tertentu pada setiap tahun. Ini lebih
besar bid’ahnya dan lebih jauh dari Sunnah ketimbang yang kedua. Karena
hadits-hadits tentang hal tersebut semuanya maudhû’ (palsu).19
Hadits Kedua
Belas
مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ بَعَثَ اللهُ إِلَيْهِ مِئَةَ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَهُ
“Siapa yang
membaca pada malam nishfu Sya’ban ‘Qul Huwallâhu Ahad’ seribu kali, niscaya
Allah akan mengutus untuknya seratus ribu malaikat memberi kabar gembira
kepadanya.”
Derajat
Hadits
Hadits ini
disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Lisânul Mizân pada biografi Muhammad
bin ‘Abd bin ‘Amir As-Samaqandy sebagai salah satu bentuk/(contoh) hadits
palsunya. Dan disebutkan pula oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal.
78.
Hadits
Ketiga Belas
مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً يِقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ شُفِّعَ فِيْ عَشَرَةٍ قَدِ اسْتَوْجُبُوْا النَّارَ
“Siapa yang
shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at ia membaca
‘Qul Huwallâhu Ahad’ tiga puluh kali, niscaya Allah akan mengizinkannya untuk
memberi syafa’at kepada sepuluh orang yang telah wajib masuk neraka.”
Derajat
Hadits
Hadits ini
disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78 sebagai hadits
yang maudhû’ (palsu).
Berkata
Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Yang mengherankan, ada sebagian orang yang telah
menghirup harumnya ilmu Sunnah tertipu dengan igauan ini dan melakukan shalat
itu. Padahal shalat tersebut hanya diada-adakan setelah empat ratus tahun
(munculnya/lahirnya) Islam dan munculnya di Baitul Maqdis, kemudian
dipalsukanlah sejumlah hadits tentangnya.”
Hadits
Keempat Belas
مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْخَمْسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ: لَيْلَةُ التَّرْوِيَةِ، وَلَيْلَةُ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
“Siapa yang
menghidupkan malam-malam yang lima (ini), maka wajib baginya surga: malam
Tarwiyah*, malam ‘Arafah, malam ‘Iedul Adha, malam ‘Iedul Fitri dan malam
nishfu Sya’ban.”
Derajat
Hadits
Hadits di
atas dikeluarkan oleh Al-Ashbahâny dari Mu’âdz bin Jabal, dan dianggap sebagai
hadits palsu oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dha’îf At-Targhîb no. 667.
Bid’ah-bid’ah
Seputar Sya’ban
Sebagai
tambahan faedah terhadap penyebutan hadits-hadits di atas, maka berikut ini
beberapa keterangan para ulama berkaitan dengan sejumlah bid’ah yang berkembang
di tengah kaum muslimin pada bulan Sya’ban20:
1. Merayakan
malam nishfu Sya’ban.
2.
Mengkhususkan shalat seratus raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan membaca surah Al-Ikhlash sebanyak seribu kali. Shalat ini dinamakan shalat Alfiyah.
3.
Mengkhususkan shalat pada malam nishfu Sya’ban dan berpuasa pada siang harinya.
4.
Mengkhususkan doa pada malam nishfu Sya’ban.
5. Shalat
enam raka’at dengan maksud menolak bala, dipanjangkan umur dan berkecukupan.
6. Seluruh
doa yang dibaca ketika memasuki bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Karena semua
bersumber dari hadits yang lemah.
7.
Menghidupkan api dan lilin pada malam nishfu Sya’ban.
8. Berziarah
ke kuburan pada malam nishfu Sya’ban dan menghidupkan api di sekitarnya. Dan
kadang para perempuan juga ikut keluar.
9.
Mengkhususkan membaca surah Yasin pada malam nishfu Sya’ban.
10.
Mengkhususkan berziarah kubur pada bulan Rajab, Sya’ban, Ramadhan dan pada hari ‘Ied.
11. Mengkhususkan
bershodaqah bagi ruh yang telah meninggal pada tiga bulan tersebut.
12. Meyakini
bahwa malam nishfu Sya’ban adalah malam Lailatul Qadri.
13. Membuat
makanan pada hari nishfu Sya’ban kemudian membagikannya kepada fakir miskin
dengan anggapan makanan untuk kedua orang tua yang meninggal
Footnote:
1 Baca
pembahasan Bid’ah dan Bahayanya dalam majalah An-Nashihah vol. 06 pada Rubrik Manhaj.
2 Keterangan
Ibnul Mubarak disebutkan oleh Imam At-Tirmidzy setelah membawakan hadits di
atas. Dan baca juga Fathul Bâry 4/214.
3 Majmu’
Fatâwâ beliau 15/416.
4 Lathô’if
Al-Ma’ârif, hal. 138 karya Ibnu Rajab.
5 Lathô’if
Al-Ma’ârif, hal. 138 karya Ibnu Rajab.
6 Baca
Silsilah Ahâdîts As-Shohîhah, no. 1144 dan risalah “Husnul Bayân fimâ Warada fi Lailah An-Nishf min Sya’bân” karya Masyhûr Hasan Salmân.
7 Kebanyakan
para ulama menganggap bahwa tidak ada satu hadits pun yang shohîh berkaitan
dengan keutamaan Nishfu Sya’ban. Di antara mereka yang menganggap seperti itu,
Al-Hafizh Ibnu Dihyah, Abu Bakr Ibnul ‘Araby, Al-Qurthuby, Jamalauddin
Al-Qasimy, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya. Dan
sebagian penulis di masa ini ada yang tidak menyetujui Syaikh Al-Albany dalam
menshohihkan hadits di atas. Kami dalam permasalahan kali ini belum sempat
untuk lebih meneliti masalah ini. Semoga Allah memudahkannya di waktu lain.
8 Akan
datang penjelasan tentang bid’ah-bid’ah seputar Sya’ban.
Afdhol
dalam bahasa Arab bermakna “paling utama” atau “lebih utama”.
9 Baca
Irwâ’ul Ghalîl 3/397.
10 Fathul
Bâry 4/214.
11 Demikian
keterangan Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dinukil oleh muridnya, Ibnu Qayyim
dalam I’lâmul Muwaqqi’în 4/293.
12 Lathô’if
Al-Ma’ârif, hal. 151 karya Ibnu Rajab.
13
Al-Furûsiyah, hal 247.
14 Fathul
Bâry 4/129.
15 ‘Umdah
Al-Qâri’ 11/85.
16 Al-Irsyâd
1/218, karya Al-Khalîly dan beliau menyebutkan bahwa hadits di atas termasuk hadits-hadits yang Al-‘Alâ’ bersendirian dalam meriwayatkannya dan tidak ada pendukungnya.
17 An-Nukat
‘alâ Muqaddimah Ibnu Ash-Sholâh, karya Az-Zarkasyi 1/364-365.
18 Risalah
yang ketiga tentang hukum merayakan nishfu Sya’ban dari buku beliau At- Tahdzîr
min Al-Bida’, hal. 22.
19 Diringkas
dari Fatâwâ beliau pada jilid 20.
*Malam
Tarwiyah adalah malam menjelang hari Tarwiyah yang jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah setiap tahunnya.
20 Disarikan
dari buku Mu’jam Al-Bida’, hal. 299-301 dan Al-Bida’ Al-Hauliyah, hal. 300-304.
(Dinukil
dari Majalah An-Nashihah Vol. 11 Th. 1/ 1427H/2006M, kategori: Hadits, judul: Hadits-Hadits Seputar Bulan Sya’ban, hal. 46-52, untuk http://akhwat.web.id)
Sumber:
http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/tafsir-quran-syarah-hadits/hadits-hadits-seputar-bulan-syaban/
Wallahu'alam
bissawab
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.